Tradisionalisme Asy’ariyah dan Ahlu sunnah
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur kami
panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan
rahmatnyalah maka kami dapat menyelesaikan tugas kelompok dengan tepat waktu.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah dengan judul " Tradisionalisme Asy’ariyah dan Ahlu sunnah ", yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari dan mengkaji tentang aliran – aliran yang ada dan berkembang dalam islam.
Melalui kata pengantar ini kami lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggung.
Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat dan pengetahuan yang dapat mengantarkan kita semua kepada kebaikan dan keridhoan Allah SWT.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah dengan judul " Tradisionalisme Asy’ariyah dan Ahlu sunnah ", yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari dan mengkaji tentang aliran – aliran yang ada dan berkembang dalam islam.
Melalui kata pengantar ini kami lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggung.
Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat dan pengetahuan yang dapat mengantarkan kita semua kepada kebaikan dan keridhoan Allah SWT.
Bandung 28 Oktober 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam mempelajari ilmu kalam, maka
kita akan dihadapkan kepada beberapa golongan ataupun aliran diantaranya :
Al-mu’tazil, Khawarij, Murji’ah, Maturidiah Syiah Asy’ariyah dan ahlu sunnah wal Jama’ah, tentu
aliran-aliran yang disebutkan diatas mempunyai
kekurangan dan kelamahan tetapi disatu sisi, aliran tersebut mepunyai
kelebihan.
Dan
pada masa sekarang banyak golongan yang mengaku bahwa aliran yang dipakainya
lah yang sempurna dan rasional yang dapat diterima akal sehat dan relevan
dengan keadaan sekarang dan yang bisa menyesuaikan, sehingga terjadi paham
tidak bisa menerima yang lain.
Maka dalam penulisan makalah ini
kami akan membahas tentang aliran ataupun teologi Asy’ariyah dan ahlu sunnah
wal jama’ah dan yang menjadi fokus dalam penulisannya adalah : Tradisionalisme
asy’ariyah dan ahlu sunnah wal jama’ah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Tradisionalisme ?
2.
Bagaimana persepektif islam tentang
tradisionalisme ?
3.
Apa saja tradisionalisme asy’ariyah dan ahlu sunnah
wal jama’ah ?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan dalam penulisan makalah ini adalah semata-mata menambah pemahaman
tentang aliran-aliran yang ada dalam islam dan menarik benang merah sekaligus
mengambil nilai-nilai yang bermanfaat untuk pendidikan, dan ini merupakan salah
satu dari tugas mata kuliah rekonstruksi pemikiran islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tradisionalisme
Ketika berbicara tentang masyarakat islam tradisional, yang
terbayang adalah sebuah gambaran masyarakat yang terbelakang, masyarakat islam
yang kolot, masyarakat yang anti perubahan (anti progrevitas), konservatif
(staid aperoach), dan diliputi oleh sifat taklid, mereka adalah kelompok yang
membaca “kitab kuning” , termasuk karya Al-ghazali dan ulama (fiqih klasik)
pada pertengahan islam.[1]
Term tradisional merupakan term untuk sesuatu yang irrasional,
pandangan dunia yang tidak ilmiah lawan dari segala bentuk kemoderenan.
Tradisonal dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh kepada fundamen agama melalui penafsiran terhadap
kitab-kitab suci agama secara rigid dan literalis.[2]
Secara etimologis, tradisional berarti kemunduran untuk melakukan
sesuatu yang telah dilakukan oleh para pendahulunya dan memandang masa lampau
sebagai otoritas dari segala bentuk yang tetap mapan.[3]
Menurut ahmad jainuri, kaum tradisonalis adalah mereka yang pada
umumnya diidentikkan dengan expresi islam local, serta kaum elit kultur
tradisional yang tidak tertarik pada perubahan dala pemikiran dan praktik islam.[4]
Sementara itu tradisonalisme adalah paham yang bersandarkan pada
tradisi lawannya adalah modernism, liberalism, radikalisme dan fundamentalisme.[5]
Berdasarkan pada pemahaman terhadap tradisi diatas, maka
tradisionalisme adalah bentuk pemikiran atau keyakinan yang berpegang teguh
pada ikatan masa lampau dan sudah dipraktekkan oleh komunitas agama di masa
lalu.[6]
Dibidang pemikiran
islam, tradisionalisme adalah suatu ajaran yang berpegang teguh kepada
sunnah-sunnah nabi yang dilakukan oleh para sahabat dan secara keyakinan telah
dipraktekkan oleh komunitas muslim.[7]
Kaum tradisionalis
Indonesia adalah mereka yang konsisten berpegang teguh kepada mata rantai
sejarah serta pemikiran ulama – ulam terdahulu dalam prilaku keberagamaannya,
konkritnya memegang dan mengembangkan piqih scolastik mazhab yang empat.[8]
Jadi dapat
disimpulkan bahwa tradisi adalah sesuatu yang diwariskan pada masa lalu kepada
masa kini berupa non materi baik itu kebiasaan, kepercayaan dan tindakan, semua
hal tersebut selalu diberlakukan kembali.
Dan menurut
pemakalah bahwa tradisionalisme yang dipakai dalam pembahasan asy’ariyah dan
ahlu sunnah wal jama’ah adalah suatu paham yang
mengambil ataupun memberlakukan ajaran yang sudah tertera dalam
al-qura’an, sunnah nabawiyah dan sudah dilakukan oleh para sahabat, sedangkan
yang belum ada hukumnya ataupun belum dilakukan para sahabat maka landasan
hukumnya tetap diqiyaskan kepada al-qur’an, sunnah nabawiyah dan ijmak para
ulama yang mempunyai kemampuan dibidang istimbat hukum.
A.
Perspektif
Islam Tentang Tradisionalisme
Kaum tradisionalis mayakini syari’ah sebagai hukum tuhan yang
dipahami dan dipraktekkan sejak beberapa abad yang silam dan sudah terkristal
dalam beberapa madzhab fiqih. Dalam bahasa Fazlur Rahman, mereka lebih cenderung
memahami syariah sebagaimana yang dipraktekkan oleh ulama-ulam terdahulu,[9]
Mereka menerima prinsip ijtihad tetapi harus sesuai dengan
prinsip-prinsip yang tertera dalam ijma’, qiyas dan istihsan[10]
A.
Tradisionalisme
Asy’ariyah dan ahlu sunnah
Sebelum masuk kepada pembahasan tradisionalisme asy’ariyah dan ahlu
sunnah sedikit kami menambahkan bahwa yang selam ini berkembang dalam pemikiran
masyarakat bahwa asy’ariyah itu golongan
dari ahlu sunnah, oleh sebab itu kami memaparkan sedikit tentang asy’ariyah dan
ahlusunnah sebagai berikut :
Asy’ariyah yang dikenal juga dengan Asy’iroh penisbatan pada semua
pemahaman dalam aqidah kepada Abu hasan al-asy’ari,[11]
hanya mereka yang berpemahaman Abul hasan pada fase kedua dalam kehidupannya,
yang dikenal ketika itu beliau menganut paham kullabiyah. Alangkah baiknya bagi
mereka mengikuti paham Abul hasan yang terakhir dalam hidupnya, beliau kembali
kepada ajaran salaf, karena sebagaimana diketahui bahwa kehidupan beliau ada
pada tiga fase :
1.
Fase
dengan membawa faham mu’tazilah, karena kebetulan gurunya dalam paham ini
adalah bapaknya sendiri yang bernama Abu ali al-jubbai, hal ini berlangsung
hingga beliau berumur 40 tahun, (tabyiin kadzibil muftari, hal : 40)
2.
Fase
dengan membawa faham kullabiyah yang diambil dari nama pendirinya Abdullah Bin
Said Bin Qullab al-qatthan (240 H) paham ibilah yang menjadi tonggak ajaran dan
pemahamn mereka dalam madzhab, pemahaman ini yang beliau tuangkan dalam
kitabnya al-luma’ fi ar-rod ala ahli ziyag wal bida’ .
3.
Fase
dengan membawa pemahaman ahlu sunnah yang mana beliau wafat dengan pemahaman
itu, dan itu beliau tuangkan dalam bukunya, Al-ibanah, risalah ila ahli tsaghor
dan maqolah islamiyyin.
Sedangkan istilah ahlu sunnah wal jama’ah mempunyai dua kata,
As-sunnah dan al-jama’ah, sunnah ialah
yang berupa jalan hidup atau gaya hidup, sebagian mengaitkannya dengan
kebaikan,[12]
atau secara istilah ialah jalan hidup Rasulullah SAW yang diterangkan dalm
kitabullah dan sunnah rasulnya serta jalan para sahabat yang telah disepakati.
Jama’ah artinya secara bahasa tidak terlepas dari enam makna yaitu
:
1.
Sawadul
a’dzhom, kelompok mayoritas, [13]
2.
Kumpulan
mujtahid
3.
Sahabat
pada khususnya
4.
Ummat
islam jika sepakat dalam satu perkara
5.
Ummat
islam jika bersatu dalam sebuah kepemimpinan
6.
Kelompok
yang benar ( lihat dalam manhajul ahlisunnah wal jama’ah wa minhajul asy’ari,
Dr. Khalid bin Abdul Lathif Muhammad nur, (1/2)
Dari segi makna hal yang diatas tersebut tidak bertentangan secara
makna dan dapat disimpulkan bahwa ahlu sunnah wal jama’ah adalah mereka yang berpegang
teguh kepada sunnah rasulullah dan mengikuti jama’ah para sahabat dan mereka
yang mengikutinya dengan baik.
Tetapi apakah ahlu sunnah sama dengan paham Asy’ariyah, maka
jawabannya mayoritasnya hampir sama tetapi ada beberapa tema yang mereka
bertentangan, misalnya : mashdar talaqqi, sifat wujud Allah, iman al-qur’an,
sebab dan musabbab, sam’iyat dan sifat-sifat Allah SWT.
Setelah membahas Asy’ariyah dan ahlu sunnah wal jama’ah, kami akan
menyajikan pembahasan paham tradisionalisme Asy’ariyah dan ahlu sunnah .
Paham tradisonalisme Asy’ariyah dan ahlusnnah dapat
dilihat dari hal-hal berikut
a.
Akal
dan Wahyu
Dari aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa kewajiban manusia hanya
dapat diketahui melalui wahyu, dan akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi
wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang
buruk adalah wajib bagi manusia, betul akal dapat mengathui tuhan tetapi
wahyulah yang mewajibkan untuk mengetahui tuhan dan berterimakasih kepada-Nya,
dan juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepad tuhan akan
memperoleh upah dan yang tidak patuh kepadanya mendapat hukuman.[14]
Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa menurut pendapat
Asy’ariyah akal tak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia, untuk
itulah wahyu diperlukan.[15]
Kesimpulan diatas dapat kita
ketahui dari pendapat – pendapat pengikut aliran Asy’ariyah, dan menurut pendapat
Al-syahrastani ahlu sunnah yaitu kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa kewajiban –
kewajiban manusia diketahui dengan wahyu dan pengetahuan diperoleh dengan akal,
akal tidak mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk
adalah wajib. Karena akal tidak membuat sesuatu menjadi harus atau wajib. Wahyu
tidak mewujudkan yang pengetahuan, wahyu membawa kewajiban – kewajiban.[16]
Al-ghazali seperti Asy’ariyah dan Al-baghdadi, juga berpendapat
bahwa akal tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban –
kewajiban itu ditentukan dengan wahyu ,[17]
dengan demikian kewajiban mengetahui tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi
yang jahat hanya dapat diketahui melalui perantaraan wahyu.
Oleh sebab inilah kami selaku penulis makalah ini berpendapat bahwa
salah satu paham tradisionalisme asy’ariyah dan ahlu sunnah wal jama’ah adalah
tentang wahyu dan akal, karena semua harus dikembalikan kepada wahyu baik itu
al-qur’an maupun sunnah-sunnah nabiwiyah bukan kepada akal manusia, adapun
masalah hal yang baru maka itu semua boleh dipikirkan oleh akal tetapi
qiyasannya harus kepada wahyu ataupun ijmak para ulama .
Maka Asy’ariyah mengembalikan sesuatu hal itu kepada wahyu dan inilah
yang terpenting munculnya tradisionalisme
Asy’ariyah dan ahlu sunnah.
b.
Fungsi
wahyu
Bagi kaum Asy’ariyah karena akal dapat mengetahui hanya adanya
tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan
buruk dan mengetahui kewjiban-kewajiban hanya dengan turunnya wahyu, dengan
demikian jika sekiranya tidak turun wahyu, manusia tidak akan tahu
kewajiban-kewajibannya, sekiranya syariat tidak ada, kata Al-ghazali , manusia
tidak berkewajiban mengetahui tuhan dan tidak berkewajiban untuk berterima
kasih kepadanya atas nikmat-nikmat yang diturunkannya kepada manusia.[18]
Jelas bahwa dalam pendapat Asy’ariyah wahyu mempunyai fungsi yang
banyak sekali, wahyu menentukan boleh dikata banyak hal, seandainya tidak ada
wahyu maka manusia bebas berbuat apa saja yang dikendakinya, dan sebagai
akibatnya manusia akan hidup dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur
masyarakat manusia dan memang demikan pendapat Asy’ariyah. Salah satu fungsi
wahyu adalah, kata addawani, ialah memberi tuntunan kepada manusia untuk
mengatur hidupnya di dunia.[19]
Oleh karena itu pengiriman rasul-rasul dalam teologi Asy’ariyah seharusnya
merupakan suatu kemestian bukan yang boleh terjadi (ja’iz) sebagaimana yang
ditegaskan al-ghzali dan al-syarahtani [20].
Dan kesimpulan dari uraian Asy’ariyah bahwa wahyu mempunyai
kedudukan terpenting dan fundamen dalam kehidupan manusia dalam menjalani
kehidupan.
Teologi asy’ariyah yang seperti inilah yang membawa kepada
tradisonalisme karena semua harus dikembalikan kepada wahyu baik itu kalamullah
dan kalamurrasul.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah disajikan pada bab
sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
·
Bahwa
yang dimaksud tradisionalisme di dalam tulisan kami adalah paham yang selalu
mengembalikan segala sesuatu kepada wahyu baik itu al-qur’an dan sunnah
nabawiyah maupun ijmak yang telah dilkukan oleh para sahabat.
·
Tradisonalisme
ini muncul ketika aliran Asy’ariyah dan ahlu sunnah tidak memberikan peran yang
dominan kepada akal tetapi lebih mengutamakan wahyu dibanding akal untuk
mencari kebenaran dan kewajiban yang dalam istilah lain bahwa akal harus
mengikuti wahyu bukan sebaliknya yaitu wahyu mengikuti akal.
·
Ketika
kita membahas tradisonalisme asy’ariyah dan ahlu sunnah maka kita juga
mendapatkan sisi positifnya, yaitu mempertahankan kemurnian ajaran islam dan
tidak mudah masuk kepada paham yang baru yang tidak jelas, walaupun dari sisi
lain orang menilai negatif paham tersebut, yaitu terjebak kepada kejumudan
tanpa pembahuruan.
·
Dan
manfaatnya kepada pendidikan adalah kita dapat memberikan sumber yang jelas
kepada anak didik tentang hal-hal yang kita ajarkan.
B.
Saran.
Adapun saran yang ingin kami sampaikan adalah:
·
Jangan
terlalu cepat mengklaim salah tentang satu aliran sebelum ditemukan dalil
ataupun fakta yang menunjukkan kesalahannya.
·
Jangan
terlalu cepat menerima aliran yang berkembang tetapi harus kita anilisi
terlebih dahulu dan dibuat perbandingan.
·
Dan
untuk mencari hakikat suatu aliran kita harus mengembalikannya ke sumber asasi.
Demikian yang dapat kami tuliskan serta kami paparkan
mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah
kami.
Kami banyak berharap
para pembaca yang budiman dapat memberikan kritik dan saran yang membangun
kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di
kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi kami pada
khususnya juga para pembaca yang dimuliakan Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Fazlur, 1970 “ islmaic
modernism : its scope, method and alternative”, international journal of middle of studies
Nasution. Harun. 2002. Teologi islam aliran aliran sejarah
analisa perbandingan Jakarta : UIP
Al-ghazali. Muhammad, Ibrahim Agah cubukcu and Husseyin Atay (
ed.), 1958 al-iqtishad fi al-I’tiqad , Ankara : Ankara Universitas.
Al-baghdadi, Abu Mansur, 1928 ‘ Abd al-qhahir at-tamimi, kitab
usulud din, Constantinople : Madrasah al-ilahiyat
Al-Asy’ari, Abul Hasan Ibn Isma’il, kitab al-ibanah usul
ad-diyanah Hyderabat : tat
http://www.docstoc.com/docs/71322897/tradisionalisme
[1]
Ibid 2
[2]
Fundamentalis “ , dalam the oxpord English dictionary, 1988
[3]
Andrew rippin, muslim.6
[4]
Ahmad jainuri, oreantasi ideology : 68
[5]
Noah webstar, webstar internasional dictionary of English language unarbridget,
1966, 2422
[6]
ibid
[7]
Daniel brown, ( rethinking tradision ) 2.
[8]
Sayyed hasan nasr , mencatat salah satu criteria fola keagamaan trdisonal
adalah dipakai nya konsep silsilah
[9]
Fazlur Rahman, “ islmaic modernism : its scope, method and alternative”,
international journal of middle of studies ( 1970 ) 317-332
[10]
Ibid
[11]
Al-milal wan nihal (1/94)asy-sihristani
[12]
An-nihayah fi ghoribil hadis (2/409) ibnu atsir dan tahzibil lugoh ( 12,
298-299) azhari
[13] Makna ini diambil dari beberapa riwayat
[14]
Lebih lanjut mengenai hal ini, lihat zuhdi hasan jar Allah, al-mu’tazilah
cairo, 1948 . 203 dan 213
[15]
Harun nasution, teologi islam aliran aliran sejarah dan perbandingan, 2002 hal
: 84
[16]
Ibid 14
[17]
Al-iqtishad 84
[18]
Al-iqtishad 189
[19] Harun nasution, teologi islam aliran aliran
sejarah dan perbandingan, 2002 hal : 101
[20]
An-nihayah 417
Tidak ada komentar:
Posting Komentar